Jangan Pakai Amplop..! (bagian-2)

Masih tentang amplop. Amplop yang kumal dan lecek karena sudah dipakai berkali-kali hanya membawa si pencari sumbangan pada orang-orang yang “berkantong tipis” (seperti definisi pada tulisan pertama).

Jika memang benar panti asuhan atau yayasan sosial itu melakukan aksi nyata, maka ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menggali dana. Mudah-mudahan bukan lembaga fiktif ya.., yang hanya mencari keuntungan pribadi melalui mengemis dengan cara baru ini. Cara yang banyak digunakan oleh lembaga-lembaga sosial untuk mencari bantuan finansial adalah melalui bisnis filantropi.

Pernah terpikirkan ketika melihat foto di amplop tersebut yang menunjukan anak-anak sedang berkegiatan seni. Nah.. ini peluang penggalian dana yang strategis. Di Jogja pada khususnya selalu ada pertunjukan seni atau ada banyak sekali ruang-ruang untuk kita menunjukan kreasi seni kita. Hampir tiap minggu pasti ada pertunjukan seni. Bahkan tiap tahun ada beberapa agenda tetap yang memungkinkan para pegiat sosial seperti panti asuhan ini ikut bergabung, misalnya FKY, Jagongan Media Rakyat, Pasar Kangen, Jagongan Wagen (tiap bulan), street performance, dan masih banyak lainnya.

Maka, tampilah di acara-acara tersebut. Seni yang dibawakan tidak perlu bagus atau sempurna. Tapi yang perlu ditonjolkan adalah misi dan tujuan kita, agar publik pun tahu siapa kita dan tujuan kita. Setelah mereka tahu, dan melihat secara nyata aktivitas kita, maka saya sangat yakin mereka mau membantu.

Bisa juga dengan cara membuat mekanisme orangtua asuh. Mekanisme ini sudah banyak dijalankan oleh lembaga-lembaga sosial lainnya, yaitu seseorang yang setuju untuk menyisihkan rejekinya untuk diberikan pada para yatim khususnya untuk keperluan sekolah. Orang tua asuh cukup menransfer sejumlah uang setiap bulannya, dan panti asuhan yang mengelola dan memastikan kalau dananya dipakai dengan tepat. Kemudian dipublikasikan hasil-hasilnya. Seperti bola salju, uluran bantuan akan datang dengan sendirinya.

Atau bisa juga menjual karya tangan anak-anak tersebut, misalnya gambar, patung, atau bentuk-bentuk sederhana. Namun pengemasan dan pesan yang ada dalam karya tersebut harus tersampaikan pada konsumen. Tentu saja tidak boleh kemudian melakukan ekploitasi anak atas nama penggalian dana.

Sangat banyak orang yang masih peduli dengan lingkungan sekitar dan isu-isu sosial (keagamaan). Cuma sekarang bagaimana kita membungkus informasi tersebut untuk “dijual”. Jangan dengan amplop dong! *(habis)

Leave a comment